Minggu, 30 Oktober 2016

Komplek Candi Prambanan



Kompleks Candi Prambanan terletak di perbatasan antara Kabupaten Sleman dengan Klaten, tepatnya di Dusun Karangasem, Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO World Heritage Commiittee dengan No. C. 642.
Kompleks Candi Prambanan mempunyai latar belakang agama Hindu dan sering juga disebut Candi Loro Jonggrang. Kompleks Candi Prambanan terbagi menjadi 3 halaman konsentris (terpusat), dihubungkan dengan gapura yang terletak pada keempat sisinya.
Halaman luar dikelilingi tembok pagar berukuran 390 x 390 m. Saat ini, pada halaman luar sudah tidak ditemukan adanya bangunan, namun dari ekskavasi yang pernah dilakukan, diketahui adanya beberapa struktur fondasi bangunan yang diperkirakan sebagai tempat tinggal para pendeta. Halaman tengah dikelilingi tembok pagar berukuran 220 x 220 m. Di halaman kedua terdapat 224 buah candi perwara yang disusun menjadi empat deret yang makin ke dalam makin tinggi letaknya. Deret pertama 68 buah, deret kedua 60 buah, deret ketiga 52 buah, dan deret keempat 44 buah.
Di dalam halaman pusat yang dikelilingi pagar berukuran 110 x 110 m terdapat 16 bangunan candi, yaitu :
1. Candi Siwa sebagai Candi Induk
Tubuh candi induk terdiri atas empat bilik, pada masing-masing bilik terdapat arca, yaitu arca Agastya, sebagai Siwa Mahaguru, arca Ganeça sebagai anak Dewa Siwa, arca Durga Mahisasuramardini sebagai çakti Siwa, dan arca Siwa Mahadewa sebagai arca utama. Atap candi bertingkat-tingkat, masing-masing dihiasi dengan beberapa hiasan ratna.
2. Candi Brahma
Bentuk dan denah Candi Brahma mirip dengan Candi Siwa, hanya ukurannya lebih kecil. Candi ini hanya memiliki satu tangga masuk di sebelah timur dan satu bilik yang di dalamnya terdapat arca Brahma
3. Candi Wisnu
Bentuk secara keseluruhan Candi Wisnu pada dasarnya mirip dengan Candi Brahma. Candi ini juga memiliki satu tangga masuk di sebelah timur, dengan satu bilik arca di dalamnya yaitu arca Wisnu.
4. Candi Nandi
Candi menghadap ke barat, mempunyai satu bilik dengan arca Nandi di dalamnya. Selain itu, juga terdapat relief mengenai Dewa Surya dan Candra. Dewa-dewa tersebut mengendarai kereta yang masing-masing dihela 7 ekor kuda untuk Dewa Surya dan 10 ekor kuda untuk Dewa Candra.
5. Candi Garuda dan Angsa
Di depan Candi Wisnu dan Candi Brahma terdapat dua buah candi, tetapi biliknya dalam keadaan kosong. Candi Garuda berada di depan Candi Wisnu dan Candi Angsa berada di depan Candi Brahma.
6. Candi Apit
Pada ujung sebelah utara dan selatan di dekat pintu masuk terdapat dua buah candi yang disebut candi apit. Disebut demikian karena dua buah bangunan ini berfungsi sebagai pengapit dua deretan candi yang terletak di sebelah timur dan barat.
7. Candi Kelir
Jumlah candi kelir ada empat buah, terletak di depan pintu masuk, yaitu sebelah utara, selatan, timur dan barat. Secara simbolis berfungsi sebagai penolak bala.
8. Candi Sudut
Candi sudut berjumlah empat buah, terletak di setiap sudut halaman utama. Seperti halnya candi kelir, candi sudut ini tidak mempunyai tangga masuk. Sesuai ukurannya yang kecil, maka ruangan pada tubuh candi dan pintu masuknya kecil.
Berdasarkan atas adanya arca-arca dewa dan relief yang ada di percandian Prambanan, maka dapat diketahui bahwa percandian Prambanan didirikan bagi umat yang beragama Hindu. Akan tetapi, data-data mengenai siapa sebenarnya raja yang mendirikannya masih belum ditemukan secara konkret.
Salah satu prasasti yang dapat dihubungkan dengan percandian ini yaitu prasasti Siwa Grha yang berangka tahun 778 Saka (856 M). Prasasti ini sekarang disimpan di Jakarta. Dalam prasasti ini disebutkan tentang arca Dwarapala pada pintu masuk dan adanya petirtaan pada gugusan candi. Gugusan candi yang ada dalam prasasti tersebut dapat diidentikkan dengan Candi Prambanan.
Hal itu mengingat halaman pusat percandian ini dikelilingi pagar sesuai dengan uraian candi utama dalam prasasti. Berdasarkan uraian tersebut dapat diduga bahwa percandian Prambanan didirikan oleh Raja Pikatan (Jatiningrat) yang mengeluarkan prasasti itu. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya tulisan-tulisan pendek yang menyebutkan nama “Pikatan” sehingga diduga percandian itu didirikan sekitar abad IX M.
Motif Prambanan yaitu hiasan berupa seekor singa di dalam relung diapit dua bidang hias berisikan pohon kalpataru dan di bawahnya terdapat sepasang makhluk  kinara-kinari.
Kompleks Candi Prambanan memiliki banyak ragam hias. Sebagian ragam hias tersebut merupakan motif batik, antara lain: motif nitik, motif sidomukti, motif pinggiran, dan motif semen. Selain itu, di Candi Prambanan terdapat relief motif Prambanan yaitu hiasan yang hanya ditemukan di Candi Prambanan. Hiasan ini berupa seekor singa di dalam relung diapit dua bidang hias berisikan pohon kalpataru dan di bawahnya terdapat sepasang makhluk kinara-kinari.
Kompleks Candi Prambanan ditemukan pertama kali oleh C.A. Lons, seorang bangsa Belanda pada tahun 1733 M. Candi ini ditemukan dalam keadaan runtuh dan ditumbuhi rumput serta pepohonan.
Sampai saat ini percandian Prambanan telah mengalami beberapa kali pemugaran. Dimulai dengan pemugaran Candi Siwa yang selesai pada tahun 1953 diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia I yaitu Ir. Soekarno, dilanjutkan dengan Candi Brahma pada bulan April 1977 sampai dengan bulan Februari 1987. Candi Wisnu dipugar pada bulan April 1987 dan diresmikan pada tanggal 27 April 1991. Setelah candi-candi utama selesai dipugar, kemudian mulai bulan Mei 1991 tiga buah candi wahana, yaitu Candi Nandi, Candi Garuda, dan Candi Angsa mulai dipugar. Candi-candi tersebut diresmikan bersamaan dengan Candi Sewu (Jawa Tengah) pada tahun 1993 oleh Presiden Republik Indonesia II yaitu Soeharto.
Dengan pemugaran yang dikerjakan oleh pemerintah melalui Proyek Pelita ini, dapat memberikan sumbangan besar bagi bangsa Indonesia, baik dalam bidang kebudayaan maupun kepariwisataan. Oleh karena itu, sebagai bangsa yang menghargai warisan budayanya, maka hendaknya kita ikut berpartisipasi dalam upaya perlindungan dan pelestariannya.

Gua Braholo, Gua Hunian Masa Pra Sejarah di Gunung Sewu


       Gua Braholo merupakan salah satu gua hunian prasejarah yang berada dalam jajaran pegunungan karst Gunung Sewu. Gua ini terletak di Desa Semugih, Kecamatan Rongkop, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Gua ini ditemukan oleh Bidang Prasejarah Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, ketika melakukan survei di seluruh wilayah Gunung Sewu pada tahun 1996. Belasan gua ditemukan di bagian barat pegunungan ini dan salah satu di antaranya adalah Gua Braholo, yang kemudian ditindaklanjuti dengan melaksanakan ekskavasi pada tahun 1997 dan 1998.

    Penelitian di Gua Braholo merupakan bagian dari penelitian skala makro tentang eksploitasi sumber daya di daerah Gunung Sewu. Daerah yang memanjang pada arah timur – barat di bagian selatan Jawa ini terdiri dari pegunungan karst yang khas, berbentuk setengah bulatan atau kerucut diselingi lembah atau dataran sempit. Berbagai tinggalan prasejarah dari budaya tertua (paleolitik) hingga termuda (paleometalik) tersebar dengan padat, lebih – lebih di bagian timur. Budaya bercorak paleolitik lebih terkonsentrasi di sepanjang aliran sungai, seperti Kali Baksoka, Kali Wuni, Kali Pasang, Kali Sirikan, dan Kali Gede. Sebaran Paleolitik mencapai Kali Giritontro di daerah Wonogiri dan Kali Oyo di daerah Wonosari. Budaya Mesolitik lebih terpusat di gua atau ceruk, sementara budaya bercorak neolitik lebih terpusat di bentang alam terbuka.
     Satu – satunya penelitian mengenai kehidupan gua tercatat pada tahun 1996 yang dilakukan oleh Puslit Arkenas. Melalui eksplorasi intensif ditemukan belasan gua di daerah ini dan salah satunya di antaranya adalah Gua Braholo. Di antara gua – gua tersebut, Gua Braholo menampakkan indikator hunian paling kuat berupa temuan permukaan, seperti sisa fauna yang melimpah dan artefak batu. Berdasarkan temuan tersebut dipandang perlu untuk mengadakan ekskavasi di daerah ini.
         Penelitian intensif selama lima tahun dengan dukungan dari “The Toyota Foundation” di Gua Braholo telah dimulai sejak tahun 1995 dipimpin oleh Prof. Truman Simanjuntak dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta. Pada penelitian tersebut telah dibuka 14 kotak ekskavasi dengan temuan yang sangat padat, terdiri dari tembikar, sisa biji-bijian yang sebagian besar di antaranya terbakar dan hangus, sisa fauna yang sangat melimpah, sisa industri batu, sisa industri tulang dan cangkang kerang.

          Berdasarkan hasil ekskavasi dapat diketahui membuktikan bahwa Gua Braholo dihuni dalam paling tidak sejak akhir Plestosen hingga Holosen. Lapisan 1 – 4 berumur Holosen, selanjutnya lapisan 5 -7 berumur akhir Plestosen.
      Industri alat batu (litik) di Gua Braholo menggunakan bahan baku batuan yang bervariasi, namun miskin dalam tipologi. Pada umumnya terbuat dari rijang dan batu gamping, kemudian juga digunakan jasper, kalsedon, dan fosil kayu. Tipologi artefak litik yang ditemukan di Gua Braholo, secara teknis menampakan corak budaya yang lengkap, mulai paleolitik, mesolitik, dan neolitik. Corak paleolitik berupa alat-alat massif dari batu gamping berupa alat batu inti dan kapak perimbas. Corak mesolitik berupa alat serpih-bilah, sedangkan corak neolitik berupa beliung persegi dari batu gamping, cangkang kerang, dan fosil tulang.
       Alat tulang yang ditemukan di Gua Braholo dapat diklasifikasikan menjadi lancipan, spatula, jarum, dan alat tanduk. Berdasarkan aspek bentuk dan teknologinya, lancipan dan spatula dari Gua Braholo memiliki kesamaan dengan yang ditemukan di gua-gua lain di Jawa Timur. Alat tulang yang paling khas dari situs ini adalah jarum dengan runcingan ganda dalam ukuran kecil, dan sejauh ini belum pernah ditemukan di situs lainnya.
       Artefak cangkang kerang yang ditemukan di Gua Braholo terdiri dari serut, penusuk, serut-penusuk, alat pengupam, alat sudip, beliung persegi, dan perhiasan. Alat serut dan lancipan dibuat dari serpihan hasil pemecahan cangkang kerang. Selain sebagai alat, di Gua Braholo cangkang kerang juga dimanfaatkan sebagai perhiasan atau aksesoris.
          Sampai saat ini di Gua Braholo telah ditemukan sisa – sisa manusia yang berasal dari 8 individu. Sebagian menunjukkan penguburan primer dengan bagian tubuh yang relatif lengkap dalam susunan anatomis, dan sebagian lainnya menunjukan sisa penguburan sekunder dengan sisa bagian tubuh yang terbatas. Berdasarkan konteks stratigrafinya, rangka-rangka manusia tersebut berada dalam rentang waktu sekitar 5.000 tahun, berumur antara 9.000 hingga 4.000 tahun yang lalu.
         Berdasarkan analisis morfologi dapat diketahui sebagian besar manusia Gua Braholo memiliki karakter ras Australo-Melanesoid, sedangkan tiga individu lainnya belum dapat diketahui karena keterbatasan sisa anatomis yang terkonservasi.
          Penemuan rangka-rangka di Gua Braholo ini telah mengisi kekosongan data manusia penghuni kawasan Gunung Sewu pada periode paruh awal Holosen, yang mengembangkan budaya industri serpih-bilah serta alat-alat tulang dan cangkang kerang. Migrasi manusia dengan ciri ras Australo-Melanesoid ke kepulauan Nusantara diduga berasal dari Asia Tenggara Daratan setidaknya sejak 11.000 tahun yang lalu, ketika terjadi kenaikan air laut. (Shinta Dwi Prasasti)
Sumber: kemdikbud.go.id

Kamis, 27 Oktober 2016

Popular Tourism Object Indonesia


Indonesia is a country with so many natural resources. Not a few, which is a favorite location as a tourist attraction because of its natural beauty. Of the many attractions in Indonesia, which is the most many tourists, both domestic and foreign tourists in the last year?

To that end, TripAdvisor announced the tourist places in Indonesia are getting high rankings to become the most frequent sights discussed the tourists from all over the world in the past year.

1. Waterbom Bali, Kuta
As expressed by one TripAdvisor traveler, "If you love the sun and water, Waterbom is one place that should be visited. It provides a lot of things that can be done travelers of all ages.
"

2. Complex. Prambanan Temple, Yogyakarta
"The structure of buildings, sculptures, and architecture are all amazing. Place to visit. The temple is also the only one in the world that has a statue of Lord Brahma with a full body, "said one TripAdvisor traveler.

3. Bali Safari & Marine Park, Gianyar
According to one TripAdvisor traveler, "The park is not only very spacious and well maintained, but the experience of being so close to the animals occupants also really amazing."

4. The temple of Borobudur, Central Java
A TripAdvisor traveler commented. "This place is not only beautiful, but also the surrounding scenery is stunning."

5. Pura Tanah Lot, Canggu
One TripAdvisor traveler commented, "A very impressive while visiting Tanah Lot temple and a beautiful garden. The most memorable of our trip! "

6. Kecak Fire and Trance Dance, Ubud
"Music is shouted by a remarkable man. Thrilling fire dance, with quick movements as well as entertaining. Perfect closure of our visit to Ubud, "said one TripAdvisor traveler.

7. Mount Bromo, East Java
A TripAdvisor traveler said, "The size of a very large crater and the supernatural beauty of nature is truly special."

8. Mount Merapi, Yogyakarta
"The scenery is absolutely stunning from Merapi. Everything is on fire and fog shrouded morning. Then you'll see the top for 10 minutes, it's worth it after a trip through time and wait! "Said one TripAdvisor traveler.

9. Gunung Rinjani, Lombok
According to one TripAdvisor traveler, "I've been climbing almost all the regions of Asia and Rinjani offers unrivaled views. You will see a blue-green lake and then active volcano crater that still smoke! "

10. Saung Angklung Udjo, London
"Appearance of music, dance and comedy with a bit of art as a whole is impressive. They involve the audience and the orchestra was incredible! Recommendations a TripAdvisor travelers.

source: metrotvnews (dot) com

Adrenalin Tourism, Bungee Jumping only at Bali

Bungee jumping (also spelled "Bungy" jumping)is an activity that involves jumping from a tall structure while connected to a large elastic cord. The tall structure is usually a fixed object, such as a building, bridge or crane; but it is also possible to jump from a movable object, such as a hot-air-balloon or helicopter, that has the ability to hover above the ground. The thrill comes as much from the free-falling as from the rebounds. When the person jumps, the cord stretches and the jumper flies upwards again as the cord snaps back, and continues to oscillate up and down until all the energy is dissipated.

History of Bungee Jumping

 surfboard_jumpThe word " bungee"  (pronounced /ˈbʌndʒiː/) originates from West Country dialect, meaning "Anything thick and squat", as defined by James Jennings in his book "Observations of Some of the Dialects in The West of England" published 1825. Around 1930 the name became used for a rubber eraser. The word bungy, as used by A J Hackett, is said to be "Kiwi slang for an Elastic Strap".Cloth-covered rubber cords with hooks on the ends have been available for decades under the generic name bungee cords.
In the 1950s David Attenborough and a BBC film crew brought back footage of the "land divers" of Pentecost Island in Vanuatu, young men who jumped from tall wooden platforms with vines tied to their ankles as a test of their courage and passage into manhood. A similar practice,joul_beach_shot only with a much slower pace for falling, has been practised as the Danza de los Voladores de Papantla or the 'Papantla flyers' of central Mexico, a tradition dating back to the days of the Aztecs.
The first modern bungee jumps were made on 1 April 1979 from the 250-foot Clifton Suspension Bridge in Bristol, by David Kirke, Chris Baker, Simon Keeling, Tim Hunt and Alan Weston of the Oxford University Dangerous Sports Club. The jumpers were arrested shortly after, but continued with jumps in the US from the Golden Gate and Royal Gorge bridges, (this last jump sponsored by and televised on the American program That's Incredible) spreading the concept worldwide. By 1982 they were jumping from mobile cranes and hot air balloons.
Commercial bungee jumping began with the New Zealander, A J Hackett, who made his first jump from Auckland's Greenhithe Bridge in 1986. During the following years Hackett performed a number of jumps from bridges and other structures (including the Eiffel Tower), building public interest in the sport, and opening the world's first permanent commercial bungee site; the Kawarau Bridge Bungy at Queenstown in the South Island of New Zealand. Hackett remains one of the largest commercial operators, with concerns in several countries.
If you have the guts? Figured That out Only at Kuta, Bali
jump in the sunsetNo Bali adventure is complete without a Bungy Jump from magnificent tower. Hands down this jump spot is the most dramatic in the world. Situated inside the grounds of the famous Double Six Night Club. The 45m / 150ft tower was purpose built and includes an elevator to get to the top (so you can’t use the stairs as an excuse not to jump or check out the view!)There are three options to jump, during the afternoon for amazing views out over the beaches and surf. Or sunset for the most picture perfect bungy photo you will ever get, or in the dark as you party away around the tower.
komang_brochure_shot
Dont worry about your safety this place guarantee your life well. The company of Aj Hackett that established this Bunggee Jumping that you can trust. A.J. Hackett is the original Bungee Jumping Company in Bali established in 1986. It is located at the Double Six Restaurant and is fully licensed and supervised through A.J. Hackett's parent company which is based in New Zealand. For $50 you will be whisked up the elevator for two jumps and receive a free T-shirt as a memento of your adventure. You can purchase photos of your plunge for $15 including the negatives. If you are truly brave you can go for a Bungee Jumping every Saturday night. Plunge into the darkness as the dancing crowds below cheer you on. If you lack the courage, just take a free elevator ride to the top for an incredible illuminating view of evening Kuta. Bungy jump at Double Six club...The staff are helpul and friendly with first timers and experienced jumpers. And you have the option of a normal jump, running jump or even riding a bike. Jumps also available between 12am-2am on saturday nites too when the club is really pumpin!As an AJ Hackett bungy you know the safety and facilities are top rate too.



source : http://www.ajhackett.com/bali/

Legong Dance : Dance of Divine Nymphs

Tari LegongIn legends, Legongis the heavenly dance of divine nymphs. Girls from the age of five aspire to be selected to represent the community as Legong dancers.
The most popular of Legongs is the Legong Kraton -- 'Legong of the Palace'. Formerly, the dance was patronized by local kings and held in a residence of the royal family of the village. Dancers were recruited from the aptest and prettiest children. Today, the trained dancers are still very yLegong Kuntul half body smoung; a girl of fourteen approaches retirement as a Legong performer.
The highly stylized Legong Kraton enacts a drama of a most purified and abstract kind. The story is performed by three dancers: a female attendant of the court and two identically dressed legongs who adopt the roles of royal persons. The suggestive themes of the magnificent gamelan orchestra and the minds of the audience conjure up imaginary changes of scene.
History of Legong Dance
1.1246868119.legong-dance-the-full-xcrewxThe story derives from the history of East Java in the 12th and 13th centuries.  A king finds the maiden Rangkesari lost in the forest. He takes her home and locks her in a house of stone. Rangkesari's brother, the Prince of Daha, learns of her captivity and threatens war unless she is set free.
Rangkesari begs her captor to avoid war by giving her liberty, but the king prefers to fight. On his way to battle, he is met by a bird of ill omen that predicts his death. In the fight that ensues he is killed. The dance dramatizes the farewells of the King as he departs for the battlefield and his ominous encounter with the bird.
The tiny dancers glitter and dazzle. Bound from head to foot in gold brocade, it is a wonder the legongs can move with such fervent agitation. The dancers flow from one identity into the next without disrupting the harmony of the dance. They may enter as the double image of one character, their movements marked by tight synchronization. Then they may split, each enacting a separate role, and come together again. In a love scene in which they rub noses, for example, the King takes leave of Rangkesari. She repels his advances by beating him with her fan, and he departs in anger, soon to perish on the battlefield.

Balinese Cock Fighting (Tajen), Between Tradition and Gambling which against the Indonesian Law

3938809In 1981 the government of Indonesia, presumably motivated by high moral principles, decreed that all forms of gambling, including cockfighting, would henceforth be illegal. The results of this law have been about the same as anywhere else in the world where popular, relatively innocuous, and slightly immoral activities have been prohibited. The practice has merely moved away from prying eyes so that it is less obvious but still very real. So popular has cockfighting been in Bali for so many decades, that it is about as realistic to tell a Balinese man that he cannot participate in his favorite sport as it is to tell the sun not to rise.  Concealing cockfights from the law isn't all that difficult. It is illegal to possess drugs, or firearms, but not chickens, and I have never heard of anyone being arrested for carrying a fighting cock down the street. So, the animals don't have to be concealed just what they do to each other. And there are more than enough of out-of-the-way places in Bali to insure that this tradition is perpetuated. 
Every now and then the cops come and break up a cockfight. But, usually they have better things to do, and they know full well that, as soon as they go away, it will be business as usual. So, the law doesn't take this matter very seriously. A local policeman who tries to keep his friends neighbors from cockfighting is not likely to be on the scene very long. The main result of declaring cockfighting to be illegal is that the material aspects must be portable, in case of a sudden raid. That requires dispensing with some of the equipment that was traditional, such as round timers. It also means that villagers can't use the big, roofed arenas called wantilan that were built years ago for cockfights.
Popularity
Why is cockfighting so popular? For one thing it is the slot machine or the bingo game of the third world. A fair percentage of the world's population seems to be addicted to gambling. In the West, this may require some fairly sophisticated equipment, some odds-making center, complex communications equipment, and an assurance than an unseen and perhaps unknown person will pay up if you win. Not so with cockfighting. One doesn't even need to own a cock. He can just show up and gamble to his heart's content limited only by his pocket book, since all bets are in cash.
For another thing, cockfighting is exciting. Unlike the monotonous whir of the slots, there is literally blood and guts here - like the Romans throwing the Christians to the lions. There are crowds that jostle and shout. There is lots of frenzied action. Even if you don't bet, the scene may be worth the effort of getting there. Although this is almost exclusively a man's sport, there are always ladies who show up to sell snacks to the spectators, and frequently there is a necessarily portable card or dice game on the ground nearby.  Pulling slot machine handles or filling out bingo cards all day long is a rather anti-social existence. Cockfighting is quite the opposite. It is a chance to see one's friends, gossip, meet newcomers, and just pass the time of day. It is also the chance to make or lose a lot of money. Perhaps this is one of the reasons that the government banned it the fact that those who bet and lost were among those who could least afford to do so. I have heard a hundred stories about locals who literally bet the farm on their favorite cocks and lost everything. 
Religious Aspects 
Cockfights have one other aspect, the religious, that is not well-appreciated by visitors to Bali. One important characteristic of the Balinese Hindu religion is the making of offerings. This is a complex subject that requires here a broad, sweeping generalization. One important function of offerings is as a means of communications between man and the gods. Higher deities are given offerings that emphasize the beautiful and tasteful side of life flowers, fruits, leaves, and the like, usually placed in containers of young coconut leaf that are cut to various degrees of intricacy. These offerings are normally placed in elevated shrines or niches, befitting the belief that these deities have physical as well as spiritual elevation. 
Theoretically only three rounds of such a religious cockfight are legally permitted. But, things being as they are, the normal procedure is to retire to the local wantilan and continue, sometimes all day long. The police won't bother such an event since it is held under the guise of religion. 
Craftsmen
guungan siapCockfighting supports a considerable handicraft industry. The most obvious necessities are the big, beehive-shaped cock baskets woven in a hexagonal pattern from bamboo strips. Every road is lined with rows of these cages, called Guungan siap. They are shifted regularly to give the inhabitants thereof the proper balance of light and shade. The idea of placing them near a road is to get the cocks accustomed to noise, people, and activity, so that, when put into action in the arena, they will not be afraid of the spectators and noise and run away. Hanging on the outside of the cage is a half coconut shell from which the  cock is fed his special mixture of food and from which he is watered frequently. There are several villages in Bali in which the chief industry, next to farming, is making cock baskets.  These baskets are too big to be used for carrying a cock to the fight on a motorbike or on foot, so there is a brisk trade in smaller, purse-like, portable baskets with carrying string that can be slung over the shoulder, or with handles that allow them to be carried like a shopping bag. 
There are craftsmen who specialize in making the sharp steel spurs, called taji, that are tied on the cock's leg before the fight. In the old days broken automobile springs were the raw material, and the blades were straight and shaped like stilettos. Nowadays many smiths use pieces cut from hard, tough, industrial-size hacksaw blades. There are others whose specialty is sharpening the blades and removing the nicks from previous encounters. 
Vocabulary
There are several words for the cockfight itself. The most common is Tajen, derived from the steel spur, taji, that is tied on the cock's leg. There is a very large special vocabulary that is closely involved with chickens, fighting cocks in general, and all of the activities that a cockfight involves. I have collected 59 words that are seldom used for anything other than cockfighting, plus eight more words that are involved with the odds. There are, for example, nineteen special words that are used to describe the color and configuration of the feathers of a cock.
In addition to the vocabulary, there is an extensive lore in both the tangible and intangible factors that may determine the outcome of a cockfight. Certain colors of cocks should only fight certain others colors of cocks on certain days, at certain times of the day, depending, of course, upon the phase of the moon, and must be placed only in certain directions with respect to opponents. There are auspicious and inauspicious days for cockfighting that are determined by the calendar. 
Preliminaries
There are many preliminaries leading up to the actual fight itself. If the cockfight is not held in connection with a ceremony that fixes its beginnig, the event usually is staged in the late afternoon when the heat of the day has passed. The cocks are brought by their owners to the appointed gathering place in small, flexible carrying cages made of coconut or lontar palm leaf or bamboo. The food sellers bring their wares on their heads of by bicycle. The cages are lined up around the edge of the arena, and their handlers squat on their haunches behind them. It is a noisy, color affair, with the crowing of the cocks, the cries of the food vendors, and the raucous laughter and chatter of the crowd. Balinese are not sticklers about time, so there is usually a long wait. 
Before the preliminaries begin an offering is usually placed in the fighting area. Then the handlers or owners who want to match up their cocks come out into the arena to seek opponents. Usually a miscellaneous crowd of bystanders collects too. After much wandering around and talking, quite time-consuming, a potential opponent is usually found. The two handlers involved squat down, facing each other, and, still firmly holding their birds, allow them to glare at each other and, perhaps, get in a peck or two. Ruffs flare, and the animals get very excited. Then the handlers exchange birds by simultaneously handing the bird with the right hand and receiving the other with the left. Muscles are felt and strength is tested. 
Sooner or later a match and the amount of the bet are agreed upon. If a cock is being handled by someone other than the owner, this handler must ask the owner's approval, and he may veto the match; but this is rare nowadays. After three or four pairings of opponents has been made, considered to be one set of matches, preparations are made for the fights. 
The Blade

The next step is to affix the blade, the taji, to the cock's leg. The person who does this is usually a specialist, not the owner or handler. A taji is a small steel dagger, 11 to 15 centimeters long from tip to tip. The blade is a thin diamond in cross section and terminates in an unsharpened, roundish handle that constitutes about one-third of the length of the whole taji, where the blade is attached to the bird's leg. There are all kinds of special stories and lore about taji. Menstruating women may not look upon them or touch them. Some say that they may only be sharpened at the dark of the moon. They must be forged with charcoal from a tree that has been struck by lightning, and some say that they may only be made when there is lightning going on outside. They must not be touched by a member of a family in which there has been a recent death. And so on, depending upon whom you listen to and where you are. A good taji may cost up to Rp 10,000. There are usually several tying specialists around, to be hired for a small fee to affix the blades. Or, it sometimes happens that the handler has his own taji. The taji are carried in a little wooden or leather wallet containing usually 6 to 12 taji of different sizes. The appropriate size for the cock at hand is selected.
The blade is attached, normally to the left leg, by wrapping twine around the leg and handle of the taji. This is an extremely important part of the preparation. If a blade is improperly fastened, the cock will be at a great disadvantage. There are numerous ways of attaching the blade by tying it in various positions relative to the foot of the cock and at various angles.  
Betting
When all pairs of cocks for the first set of matches are ready, the arena clears out, and the first match begins. The handlers of the first two cocks meet, with their birds, in the center of the arena and give to one of the referees the cash that represents the central bet. This is the bet that was agreed upon when the match was made a few minutes earlier. And it is always even money no odds. The money is provided by the owners, who usually get contributions from family, friends, and backers in the crowd. The bet may be considerable. Even at the small matches, a central bet of Rp 100,000 is not unusual. And at the really big cockfights as much as Rp 1 million is often et. 
There are always several referees, in the arena. But, the chief judge is the man in charge. He must be a man of impeccable honesty and reputation, and he must have no relationship to or interest in any of the owners, handlers, or cocks. His word is undisputed law in the arena. If he is tainted in any way, honest people will not fight their cocks under him. 
Before gambling was outlawed in Indonesia, the system of judges, referees, and time keepers was fairly elaborate, often with a permanent arena, tables, benches, and all the paraphernalia required. Nowadays, except for matches that take place in a religious context, cockfights must be conducted with an eye out for a raid by the police. This makes it impossible to use anything that cannot be quickly packed up and carried hastily away to safety. And so there are now usually no special facilities. Any open area will do. There is usually no special timing equipment. There is not a retinue of judges and referees. Things are kept simple because of the possible necessity of a hasty retreat. 
Odds
After the first color shouts, made to establish the favorite, those who wish to bet on the underdog start yelling the odds that they want. Thus, the color shouters are the backers of the favorite and the odds yellers are backing the underdog. The object is for two of these opposing betters to find each other in a crowd when they are separated by a distance as great as the width of the arena, packed so tightly together that even standing up is difficult, and walking around is impossible. This is done, however, with great efficiency and ease. There are names for the various odds, as follows: 
10 / 9 = dapang
5 / 4 = gasal
4 / 3 = cok( soft c, pronounced chock)
3 / 2 = tludo
5 / 3 = tlewin
2 / 1 = apit
5 / 2 = nglimin 
And if a better shouts balu, or sapih after the odds, he wants to win even if the fight ends in a draw - a rare event. The first four on the list, the lowest odds, are by far the most common. The backer of the underdog tries to get the longest odds possible, and the favorite backer tries to get the shortest. The underdog backers usually start at about 3/2 and are forced by
lack of takers to work down to lower odds. The favorite backers look for shouters of low odds, but, if there are none, have to settle for higher odds. Both types of backers usually indicate the amount they want to bet by holding up fingers. 
Curiously enough, the monetary unit of betting is not the Indonesian rupiah, the standard of currency for the entire country, but, rather, the ringgit, a unit of money used many years ago when Indonesia was a Dutch colony, and long since abandoned. No prices anywhere in Bali are quoted in ringgit except bets on cockfights, and there nothing but ringgit are used. Since there is no ringgit currency, bets are necessarily paid off in rupiah, but they are always made in ringgit. The number of fingers held up indicates the number of thousands of ringgits that are being wagered, unless the better indicates by his shouts that it should be interpreted as hundreds of ringgit. One ringgit is 2 1/2 rupiah, regardless of foreign exchange. So, two fingers means 2,000 ringgit or Rp 5,000, which  is an average size side bet at a medium size cockfight. 
During this phase of proceedings, confusion and noise are maximum. The sounds are deafening, as the odds criers yell out: "cok, cok, cok, cok", or: "gasal, gasal, gasal, gasal." The favorite backers shout their colors in a frenzied patter. There is much waving and shouting and gesturing to attract attention. 
While the betting is going on the handlers carry the cocks to the center of the arena and incite them to fury by pushing them at each other, plucking their combs, and bouncing them on the ground. Betting frenzy reaches utter pandemonium as fight time approaches and those so far unsuccessful at placing bets try frantically to do so at the last minute. 
The Fight 
tajen01When the referee feels that betting has gone far enough, he indicates that the match should begin. The crowd suddenly becomes quiet after a few last-minute bets are quickly placed. The referee and the judges, any, squat down in the corners of the arena, and the handlers release their charges from opposite sides of the arena, at a distance. Anything can happen.  Usually the birds fluff their ruffs, extend their necks, and, after a preliminary glare, have at each other in a fury of feathers and flying feet, so quickly that the eye can hardly follow the action. The crowd groans and shouts, almost as one man, following the action with united body. Rather soon one cock lands a solid stab with its taji. At once its handler signals the head referee to stop the first round. This is done to prevent the two animals from making further contact, since the wounded cock could easily stab the one that stabbed him, when the latter closes in to peck him to death. The time keeper starts his count. 
In the old days the time keeper used a unique kind of clock called ceng, a half coconut shell with a hole in the bottom, placed, large side up, in a bucket of water. Its sinking time, obviously rather variable from place to place, but usually about 10 seconds, is also called one ceng. The time keeper's gong was sounded once after each ceng. Three ceng are allowed between rounds. Nowadays the referee simply counts off the seconds out loud so all can hear. 
As soon as the winner is declared the bets must be paid up. Side bets are paid in cash - at once. In large, crowded arenas those who are wedged into the crowd wad up their bills and throw them at the persons who won their money. If the money misses or lands in the arena, someone always forwards it to the rightful owner. There is remarkably little bickering and  dispute over who owes what to whom. 
The owner of the winning cock gets the entire central bet, which has been kept by the referee during the fight. From this he must pay the handlers, the blade affixer, the percentage to the house, and all those who contributed to his share of the central bet. He also gets the body of the losing cock. He always gives the chopped off taji leg to the tying specialist who unwinds the string, puts the blade back in stock, and looks for further work. 
The match itself has lasted only a few minutes. At once the second match of the set begins. The cocks have already had their taji attached. Their handlers carry them into the arena, the central bet is quickly made, and the side betting begins just as before. There is no connection at all between the separate matches. One set consists of four or five matches. When they
are over, the handlers and hangers-on come out into the arena and start looking for opponents, just as they did before the first set. This goes on all afternoon until dark, thec crowd never thinning until it is all over. Since many temple anniversary festivals last for three days, there are often cockfights on three successive days too. 
Cockfights are regularly held at ceremonies that occur in family house compounds when it has been determined that the grounds are unclean and need some sort of purification so as to make the place livable. At such times a very large offering, called a caru, is made inside an enclosure of coconut leaf mats, and the butakala asked to help the people who own the property, rather than interfere with daily activities. This is inevitably preceded by a cockfight, as the word gets around fast, and villagers from all overcome and stage an impromptu tajen right inside the family house compound. There is a small, important shrine just outside the front door of my house. On the day of its anniversary, every 210 days, as many as 50 men gather for the obligatory tajen. The family with whom I live are not gamblers and don't even own a single fighting cock. But, they consider it imperative to participate in the fight, and so they buy a cock from a friend, give it to a neighbor to handle in the first fight, and place small bets on it, just so that they can be a part of the activities of the anniversary of their shrine. 
Gambling on cocks has been responsible for the dissipation of a good many Balinese fortunes, large and small. Many a rajah of old lost his palace, wives, and treasure by being cock crazy, as the Balinese call an habitual better. I have heard from many of my Balinese friends how their fathers or grandfathers were reduced to poverty by this addicting habit. 
Cockfights & Culture 
bali-cockIt is difficult to penetrate the shell of many cultures. The adjective inscrutable has been overworked in the case of Asia, but it is apt. Fear of misunderstanding and ridicule, desire to maintain privacy, and unwillingness to risk profanation of the sacred have required some groups to erect formidable barriers that prevent perforation by the casual observer. But, every now and then one finds an opening, a cultural crack through which a glimpse of the interior is possible.
Fighting cocks, cockfighting, and wagering on the fights have been popular obsessions with the Balinese for generations. The tourist who can worm his way into the sweating, jostling, noisy, gesticulating crowd of men and join them, standing around an open arena, watching the proceedings, might wonder if he has stepped into a different country. Are these the graceful, deferential, dignified people whom he has seen in his hotel? Are these the same individuals who carry the offerings to the temples and pray with such lovely and heart-felt fervor? There is no better place than the cockfight to observe Balinese values and behavior. But, the casual observer is likely to focus his attention on the brief cockfight itself. This is understandable. The boisterous crowd itself is a sight to behold. As it suddenly quieted down and the action began, the fast and furious flurries of engagement are punctuated with the ohhhh's, and ahhhh's of the audience. The impressions of color and primeval combat were blurs of color. and suddenly it is over, and the tourist leaves. 
Nowadays it is not easy for the casual tourist even to find a cockfight. Years ago they were common, daily events. Visitors to Bali with sufficient interest, flexibility, and time will find it very interesting to inquire from local people when and where cockfights are going to occur so that they can look for themselves through this window of Balinese culture. 
Adapted from paper titled “Cockfighting in Bali” written By Fred B. Eiseman, Jr.

Definisi, Fungsi, Manfaat dan Prosedur Reservasi

1. Definisi Reservasi

Sratna hotel kutaetiap wisatawan yang akan berpergian ke suatu daerah baik daerah tujuan wisata maupun daerah lainnya, terlebih dahulu melakukan perencaan terlebih dahulu dengan membuat reservation.Pemesanan dalam bahasa Inggris adalah Reservation yang berasal dari kata “to reserve” yaitu menyediakan atau mempersiapkan tempat sebelumnya. Sedangkan reservation yaitu pemesanan suatu tempat fasilitas. Jadi secara umum reservation yaitu pemesanan fasilitas yang diantaranya akomodasi, meal, seat pada pertunjukan, pesawat terbang, kereta api, bus, hiburan, night club, discoutegue dan sebagainya ( Suartana, 1987 : 14 ) Kata reservation atau pemesanan dalam dunia pariwisata disebut juga booking. Kadangkala wisatawan tidak dapat membedakan arti dari kedua kata tersebut. Oleh karena itu perlu ditegaskan bahwa kedua kata tersebut tidak memiliki perbedaaan arti (Yoeti,1997:45)Dalam dunia kepariwisataan reservation merupakan suatu lembaga atau cara yang sangat penting dan merupakan salah satu pemegang kendali bagi kelangsungan aktivitas suatu biro perjalanan wisata.
Sebelumnya seseorang atau para wisatawan melakukan perjalanan ke suatu tempat dan tinggal di suatu tempat yang dituju, maka orang atau para wisatawan tersebut harus membuat rencana perjalanan dan melakukan pemesanan tempat pada akomodasi, transportasi, tour program, restaurant dan pertunjukan yang diperlukan. Hal-hal tersebut sangat penting dan harus diketahui oleh petugas industri pariwisata, khususnya pada reservation department pada sebuah hotel.
Department ini harus benar-benar mengetahui secara jelas bahwa tidak semua para wisatawan itu mempunyai kebutuhan dan tujuan yang sama.Secara umum kata reservation itu mempunyai arti dan makna yang sama yaitu pemesanan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih untuk suatu tempat yang baik dan nyaman oleh pihak hotel.
2. Fungsi Reservasi
Pengertian reservation tidak hanya terlepas dari fungsi dan tugas dari reservation department itu sendiri yaitu: penyediaan tempat baik sebelum tamu atau para wisatawan datang.
Adapun fungsi dari reservation staff adalah:
  1. Menjual produk hotel dengan cara melakukan tehnik penjualan
  2. Mempromosikan produk dan fasilitas hotel
  3. Mempertahankan pengetahuan tentang produk dan pelayanan yang ada di hotel seperti harga & fasilitas promosi, harga khusus dll
  4. Menjalin hubungan yang baik dengan tamu serta mengantisipasi kebutuhan tamu
  5. Mencatat dan memproses pemesanan yang dilakukan dengan berbagai macam media
  6. Menerima pemesanan kamar yang ada dalam daftar tunggu (waiting list)
  7. Memproses perubahan pemesanan kamar
  8. Mencatat metode pembayaran yang sudah di atur khusus untuk tamu rombongan dan konvensi
  9. Melakukan tindakan pencegahan untuk menghindari tamu no show
  10. Meminta persetujuan FOM atau finance manager untuk pemesanan kamar yang menginginkan pembayaran kredit
  11. Membuat laporan reservasi
  12. Mengarsip data pemesanan kamar secara akurat
3. Manfaat reservasi
Bagi travel agent/pekerja hotel :
  1. Dapat mengetahui dengan pasti kapasitas pelanggan/wisatawan yang siap untuk melakukan tour di hari kemudian
  2. Dapat menghitung dengan pasti harga paket wisata (apabila ready made tour), sehingga mencegah adanya kekeliruan harga
  3. Dapat mempersiapkan permintaan-permintaan khusus dari wisatawan (cth. makanan khusus untuk vegetarian, bus berfasilitas toilet+TV, dsb)
  4. Dapat mempersiapkan kamar untuk tamu sesuai dengan tanggal pemesanan, dan memastikan apakah kamar tersebut sedang penuh atau masih kosong
  5. Mempersiapkan segala sesuatu fasilitas tambahan diluar hotel, namun masih dalam permintaan tamu (cth. kamar mandi khusus orang cacat, dsb)
Bagi wisatawan/tamu hotel:
  1. Dapat memepersiapkan segala sesuatu dengan matang sebelum perjalanan wisata dilaksanakan
  2. Memudahkan wisatawan mendapat kepastian atas tour yang dipesannya
  3. Dapat memprediksikan biaya yang akan dikeluarkan untuk berwisata
  4. Memudahkan tamu mendapatkan kamar
4. Prosedur reservasi
Menerima permintaan pemesanan kamar adalah suatu kegiatan atau proses mengumpulkan informasi atau data tentang calon tamu dan orang yang melakukan pemesanan kamar. Informasi yang diperlukan oleh pihak hotel antara lain:
  1. Jenis dan jumlah kamar yang diinginkan
  2. Jumlah orang yang akan menginap
  3. Tanggal kedatangan & tanggal keberangkatan
  4. Nama tamu yang menginap di hotel
  5. Nama pemesan/ orang yang dapat dihubungi untuk tindak lanjut informasi pemesanan kamar
  6. Nama perusahaan atau biro perjalanan
  7. Alamat dan nomor telepon perusahaan
  8. Rincian kedatangan(waktu & transportasi yang digunakan)
  9. Cara pembayaran yang digunakan
  10. Permintaan khusus

Implikasi Wisata Spiritual Terhadap Kelestarian Lingkungan

I. Latar Belakang

Bali merupakan salah satu daerah tujuan wisata internasional yang sangat terkenal di dunia. Sektor kepariwisataan telah menjadi motor penggerak perekonomian dan pembangunan di Bali sejak tahun 1970-an. Oleh karena itu kepariwisataan merupakan bagian yang sangatpura-ulun-danu-baturerat dan tidak dapat dipisahkan lagi dalam kehidupan masyarakat dan pembangunan di Bali. (Pitana, 2003). Keindahan alam dan kebudayaan Bali yang unik dan beranekaragam yang dituntun atau berpedoman pada falsafah Hindu dan keindahan alam menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan, baik wisatawan manca negara, wisatawan domestik maupun wisatawan nusantara. Untuk menjaga keberlanjutan pariwisata di Bali, Pembangunan pariwisata di Bali selalu berdasarkan pada penerapan konsep “Tri Hita Karana”. Konsep ini bertujuan untuk menyeimbangkan hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam. Diharapkan dengan keharmonisan ini, manusia (orang yang tinggal di Bali) dapat memperoleh manfaat dalam bentuk kesejastraan, kemakmuran, kebahagiaan dan kedamaian dalam hidupnya (Darmayuda, dkk. 1991 : 6-8).
Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali di kumandangakan dalam konfrensi di Stockholm pada tahun 1972. Selanjutnya konfrensi ini dikenal dengan “Stockholm Conference on Human and Environment”. Secara singkat definisi pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut:Sustainable development is defined as a process of meeting the present needs without compromising the ability of the future generations to meet their own needs (WCED, 1987 : 8).
Dari kutipan di atas, dapat dijelaskan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses pembangunan yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan (segala sesuatu yang kita perlukan dan nikmati) sekarang dan selanjutnya diwariskan kepada generasi mendatang. Jadi dengan pola pembangunan berkelanjutan, generasi sekarang dan generasi yang akan datang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk menikmati alam beserta isinya ini. Sehubungan dengan pesatnya perkembangan pariwisata di Bali, pola pembangunan berkelanjutan tersebut di atas sangat cocok diterapkan dalam pengembangan pariwisata di Bali. Salah satu jenis wisata yang sedang dikembangkan dan mendukung pariwisata berkelanjutan adalah wisata spiritual.
Sejalan dengan itu, ide pengembangan wisata spiritual belakangan mulai banyak diwacanakan. Bahkan ada yang memprediksikan wisata spiritual akan segera ‘booming’ dalam beberapa tahun ke depan. Wacana pengembangan wisata spiritual tampaknya makin menguat sejak beberapa tahun belakangan ini. Setidaknya, rencana pengembangan wisata spiritual sempat merebak di banyak kawasan, baik itu Kabupaten Karangasem, Bangli, Buleleng, atau yang lainnya. Semua wilayah menyatakan diri sebagai kawasan yang paling potensial.
Sebab semua wilayah memang menyimpan potensi yang sama besar. Bangli memiliki potensi yang baik untuk pengembangan wisata spiritual karena keberadaan Pura Batur. Pura Batur yang lebih dikenal dengan Pura Ulun Danu terletak pada ketinggian 900 m di atas permukaan laut tepatnya  di Desa Kalanganyar Kecamatan Kintamani di sebelah Timur jalan raya Denpasar-Singaraja. Pura ini menghadap ke barat yang dilatarbelakangi Gunung Batur dengan lava hitamnya serta Danau Batur yang membentang jauh di kaki Gunung Batur, melengkapi keindahan alam di sekeliling pura. Sebelum letaknya yang sekarang ini, Pura Batur terletak di lereng Barat Daya Gunung Batur. Karena letusan dasyat pada tahun 1917 yang telah menghancurkan semuanya, termasuk pura ini kecuali sebuah pelinggih yang tertinggi. Akhirnya berkat inisiatif kepala desa bersama pemuka desa, mereka membawa pelinggih yang masih utuh dan membangun kembali Pura Batur ke tempat yang lebih tinggi yakni pada lokasi saat ini. Upacara di pura ini dirayakan setiap tahun yang dinamakan Ngusaba Kedasa. Disamping itu, di pura batur memiliki juga konsep ‘nyegara gunung’ di wilayah Bangli sebagai pendukung kuat bagi pengembangan wisata itu. Nyegara gunung merupakan salah satu upacara agama yang ditujukan unktuk keseimbangan terhadap lingkungan dan kelestariannya. Hal ini sangat menarik bagi wisatawan untuk melihat upacara tersebut sehingga Pura Batur sangat cocok untuk dikembangkan sebagai wisata spiritual. Oleh karena itu penulis mengangkat judul “Implikasi Wisata Spiritual Terhadap Kelestarian Lingkungan Di Pura Batur Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli
II. Rumusan masalah
1. Bagaimanakah pengembangan wisata spiritual di Pura Batur Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli?
2. Apa implikasi wisata spiritual terhadap kelestarian lingkungan di Pura Batur Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli ?

III. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perkembangan wisata spiritual di Pura Batur Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli.
2. Untuk implikasi atau pengaruh wisata spiritual terhadap linkgkungan di Pura Batur Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli.
IV. Konsep Penelitian
1. Tinjauan tentang implikasi/ pengaruh
Pengertian implikasi menurut kamus besar bahasa Indonesia (2001:849) yaitu :
“ Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang.”
Dari pengertian yang telah dikemukaan sebelumnya yang disimpulkan bahwa pengaruh merupakan suatu daya membentuk atau mengubah sesuatu yang lain. Sehubungan dengan adanya penelitian yang di lakukan, pengaruh merupakan bentuk hubungan sebab akibat antar variabel. Dalam hal ini wisata spiritual akan mempengaruhi kelestarian lingkungan.
2. Tinjauan tentang wisata spiritual
Dalam definisi wisata spiritual, penulis menemukan dua teori untuk memperjelas maksud dari wisata ini, yaitu:
Yang pertama adalah definisi menunit Nyoman S. Pendit (1994) dalam bukunya yang berjudul Ilmu Pariwisata, beliau menjelaskan tentang pengertian Wisata Spiritual sebagai berikut:
Jenis wisata yang bamyak dikaitkan dengan agama, adat istiadat dan kepercayaan umat atau kelompok dalam masyarakat. Wisata ini banyak dilakukan oleh perorangan atau rombongcm ke tempat-tempai suci, ke makam-makam orang besar atau pemimpin yang diagimgkan, ke bukit atau ke gitining yang dianggap keramat.
Pengertian yang kedua diambil dari Oka A. Yoeti (1985) yang menulis bahwa:
Wisata Spiritual yaitu jenis pariwisata dimanatujuan perjalanam yang dilakukan adalah untuk melihat atau menyaksikan upacara - upacara keagamaadan juga berziarah atau beribadah di sana.
Dua pengertian yang dikemukakan oleh Nyoman S. Pendit dan Oka A. Yoeti ini memiliki pengertian yang sama, yakni seseorang atau rombongan melakukan wisata spiritual berdasarkan keinginan yang dikaitkan dengan kegiatan ibadah dari suatu agama atau kepercayaan. Disamping itu penulis juga mengemukakan maksud wisata spiritual dalam penulisan tugas akhir ini adalah kegiatan berwisata yang bukan hanya dikunjungi oleh pemeluk agama Hindu namun juga untuk pemeluk agama yang lain. Jadi wisata spiritual secara umum adalah sama dengan kegiatan wisata lainnya, hanya saja fokus dari wisata spiritual ini lebih mengarah pada hal - hal kerohanian seperti berdoa, mengikuti upacara keagamaan dan lainnya. Oleh karena itu, wisata spiritual juga membutuhkan fasilitas- fasilitas seperti obyek wisata pada umumnya atau unsur - unsur produk wisata agar menarik pengunjung untuk datang.
3. Tinjauan tentang lingkungan
Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanahairenergi suryamineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut.
Lingkungan terdiri dari komponen abiotik danbiotik. Komponen abiotik adalah segala yang tidak bernyawa seperti tanah, udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi. Sedangkan komponen biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan, manusia dan mikro-organisme (virus dan bakteri). Ilmu yang mempelajari lingkungan adalah ilmu lingkungan atau ekologi. Ilmu lingkungan adalah cabang dari ilmu biologi.
Lingkungan, di Indonesia sering juga disebut "lingkungan hidup". Misalnya dalam Undang-Undang no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, definisi Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Secara kelembagaan di Indonesia, instansi yang mengatur masalah lingkungan hidup adalahKementerian Lingkungan Hidup (dulu: Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup) dan di daerah atau provinsi adalah Bapedal. Sedangkan di Amerika Serikat adalah EPA (Environmental Protection Agency).
V. Pembahasan
1. Pengembangan Wisata Spiritual Di PuraBatur
Kabupaten Bangli telah mengembangkan wisata spiritual dalam menggaet para wisatawan yang lebih banyak datang ke daerah ini dengan mengembangkan objek wisata lainnya seperti objek wisata Desa Tradisional di kecamatan penglipuran, pura kehen, dll. Di pura Batur sendiri telah melakukan beberapa usaha pengembangan dalam meningkat jumlah kunjungan wisatawan yang menyukai wisata spiritual yaitu diantaranya :
1. Pemeliharaan Pura Batur
2. Peningkatan Fasilitas
3. Pengembangan Objek Wisata Toya Bungkak Sebagai Objek Wisata Penunjang
4. Kerjasama dengan travel untuk promosi pura Batur dengan membuatkan paket wisata spiritual
5. Peningkatan Kebersihan Areal Pura
Dengan usaha-usaha tersebut kunjungan terhadap pura batur hingga kini terus meningkat dan pemasukan terhadap pura batur dijadikan salah satu sumber dana untuk melakukan pengembangan.
2. Implikasi Wisata Spiritual Terhadap Lingkungan Di Pura Batur
Lingkungan di sekitar pura hingga kini dapat dilihat bersih, tertata baik dan masih sangat terlihat alami. Hal ini disebabkan oleh masyarakat sekitar dan pemerintah setempat saling menjaga kebersihan dan melakukan pembersihan secara berkala dan peningkatan fasilitas kebersihan. Kebersihan lingkungan areal pura dan lingkungan sekitar ini membutuhkan biaya yang cukup besar dan dana untuk menutupi biaya tersebut yaitu salah satunya dari pemasukan kunjungan wisatawan dalam wisata spiritual sehingga wisata spiritual ini memberikan pengaruh besar bagi kelestarian lingkungan areal pura atau sekeliling pura.
VI. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Pengembangan wisata spiritual di Pura Batur ini telah dilakukan dengan beberapa usaha yaitu :
1. Pemeliharaan Pura Batur
2. Peningkatan Fasilitas
3. Pengembangan Objek Wisata Toya Bungkak Sebagai Objek Wisata Penunjang
4. Kerjasama dengan travel untuk promosi pura Batur dengan membuatkan paket wisata spiritual
5. Peningkatan Kebersihan Areal Pura
Wisata spiritual ini sangat memberikan pengaruh besar bagi wisatawan, hal ini dibuktikan dengan biaya kebersihan yang cukup besar namun dapat ditutupi oleh pemasukan dari kunjungan wisatawan dalam wisata spiritual.
2. Saran
Antara pemerintah dan masyarakat lokal sebagai pengelola pura tetap menjalin hubungan baik dan tetap melakukan pembersihan secara berkala serta peningkatan fasilitas kebersihan.
Daftar Pustaka

1. Ardika, I.W. 2003. Pariwisata Budaya Berkelanjutan. Program Studi Kajian Pariwisata Universitas Udayana. Denpasar:
2. http://subadra.wordpress.com/2007/03/10/studi-evaluatif-pembangunan-pariwisata-berkelanjutan-di-desa-wisata-jatiluwih/
3. http://warnawarnibali.wordpress.com/2005/03/04/bali-menanti-booming-wisata-spiritual/
4. Peraturan Daerah Tingkat I Provinsi Bali No.23 Tahun 1997, Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bali:

PUBLIK AREA

DEFINISI PUBLIK AREA

Pengertian
Publik Area, seksi yang mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk menjaga kebersihan, kerapihan, keindahan dan kenyamanan seluruh area hotel, baik yang ada diluar gedung maupun didalam gedung hotel.hall
Sub Seksi Dalam Publik Area:
  1. Lobby area : Sub seksi yang mengurus kebersihan lobby, toilet lobby, back office hingga parkir depan lobby
  2. Public Restroom : Sub seksi yang mengurus kebersihan restroom sperti toilet
  3. Restaurant : Sub seksi yang mengurus kebersihan area restaurant yang ada di dalam hotel.
  4. Metting Room : Sub seksi yang mengurus kebersihan ruang metting dan ballroom.
Syarat Seorang Publik Area
Perilaku Dasar
  1. Tepat waktu
  2. Memiliki rasa hormat terhadap diri, teman dan pimpinan
  3. Memiliki loyalitas
  4. Menjalankan tugas dengan baik
  5. Dapat dipercaya
  6. Mengikuti jalur komunikasi
  7. Keamanan untuk bekerja sama
  8. Motivasi atau self motivation
Sikap Dasar
  1. Hubungan kerja yang lebih baik
  2. Kepercayaan diri yang lebih besar dengan diri sendiri dan orang lain
  3. Meningkatnya tanggung jawab pribadi
  4. Meningkatnya pengendalian diri
  5. Menghemat waktu dan tenaga
  6. Memenuhi kebutuhan masing-masing
Syarat Khusus
  1. Bersih dan Rapi
Seorang Publik Area harus berpenampilan bersih dan rapi baik dari pakaian maupun dari dirinya untuk memberikan citra yang baik terhadap tamu yang dimana PA berhadapan langsung dengan tamu.
  1. Harum
Seorang Publik Area harus harum karena PA akan bertugas di seluruh area tamu sehingga tidak menggangu tamu dengan bau yang tidak menyenangkan.
  1. Cepat dan Tanggap
Seorang Publik Area harus dapat bekerja cepat agar tidak menggangu tamu terlalu lama dan tanggap terhadap kotoran sehingga tidak ada daerah yang telah dibersihkan ternyata masih ada kotoran tersisa serta tanggap saat melakukan pembersihan dengan menggunakan benda berat dan pemasangan tanda-tanda tertentu seperti “wet floor” agar tidak membahayakan tamu.
  1. Memiliki pengetahuan cukup tentang hotel
Seorang Publik Area harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hotel terutama fasilitas-fasilitasnya agar apabila saat ditanya oleh tamu dapat memberikan informasi.
  1. Ramah Dan Sopan
Seorang Publik Area harus bersikap sopan dan ramah setiap waktu apalagi saat ditanya ataupun ingin menggangu sejenak tamu dan ramah terhadap seluruh karyawan agar membina hubungan baik karena PA selalu akan bekerja berdampingan dengan departemen lain.
  1. Murah Senyum
Seorang Publik Area harus murah senyum agar tamu senang melihat.
  1. Rajin Memberikan Salam
Seorang Publik Area harus rajin memberikan salam seperti “good morning” agar tamu merasa diperhatikan.
Hubungan PA Dengan Seksi Lain Dalam House Keeping
  1. Kerjasama dengan Floor Section
Floor Section :
a. Memberikan work order kepada PA
PA :
a. Membantu sesuai work order yang diterima
  1. Kerjasama dengan Linen dan Uniform
Linen dan Uniform
a. Menyiapkan seragam yang bersih, rapi dan harum
b. Memperbaiki seragam apabila robek atau rusak
PA :
a. Mengambil secara rapi dan meletakkan di tempat yang disediakan seusai memakai seragam
b. Memberitahukan kepada Linen dan Uniform mengenai pakaian yang rusak atau robek
  1. Kerjasama dengan Laundry Section
Laundry
  1. Membersihkan seragam agar harum dan bersih
  2. Membersihkan alat kerja bawaan PA seperti lap
PA :
  1. Memberitahukan laundry section apabila ada tamu yang ingin laundry
  2. Meletakkan alat kerja bawaan seperti lap ke tempat yang disediakan laundry section
Hubungan PA Dengan Seksi Lain Departemen Berbeda
  1. Kerjasama dengan waiter
Waiter :
a. Mengambil alat makanan dan minuman yang dipakai tamu di area tamu seperti meja di lobby dan restaurant
b. Meminta bantuan PA menambah meja dan kursi di restaurant, serta menguranginya jika tidak perlu lagi.
PA :
a. Melaporkan kepada waiter bila ada barang-barang (sendok, piring, gelas dan lain-lain) yang dipakai oleh tamu agar segera diambil.
b. Menyampaikan kepada waiter, bila ada pemesanan makanan dan minuman dari tamu.
  1. Kerjasama dengan banquet
Banquet :
a. Mengirim “Banquet Even Order” kepada PA untuk membuat lay out di dalam Banquet Hall atau Meeting Room.
b. Meminta bantuan PA menambah meja dan kursi di Ballroom atau Banquet Hall atau Meeting Room., serta menguranginya jika tidak perlu lagi.
c. Memberitahukan PA agar membuka lay out membersihkan ruangan jika event sudah selesai.
PA :
a. Menyediakan, merawat dan menyimpan linen supplies yang digunakan Food and Beverage Department seperti :
· Taplak meja (table cloth)
· Serbet makan (napkin)
· Alas meja di bawah taplak (multon)
b. Membantu banquet membuat lay out di Banquet Hall.
  1. Kerjasama dengan sales marketing
Sales Marketing :
a. Memberitahukan kepada PA, bila akan diadakan confrensi, seminar, lokakarya, rakor dan lain-lainnya di Conference Hall, Function Room atau Marketing Room.
b. Memberitahukan kepada PA jika ada perubahan jumlah peserta maupun lay out, menentukan jumlah penataan meja/kursi dalam ruangan.
PA :
a. Membersihkan office marketing dan ruangan/function room yang akan digunakan untuk acara-acara pertemuan.
b. Melakukan perubahan lay out seperti yang dikehendaki oleh tamu yang memesan.
  1. Kerjasama dengan Enginnering
Enginnering :
a. Perbaikan terhadap mesin-mesin yang digunakan oleh PA.
b. Melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang di kehendaki oleh PA berdasarkan WO (work order) yang diterima.
c. Memasang alat-alat mesin sebagai sarana kerja Housekeeping Department.
d. Memberitahukan cara-cara pengoperasian alat-alat tersebut serta cara perawatannya.
e. Memasang perlengkapan untuk acara-acara rapat pertemuan dan lain-lain.
PA :
a. Melaporkan kerusakan-kerusakan yang terjadi di lingkungan kerja seperti kerusakan alat-alat kerja, mesin-mesin, dan lain-lain.
b. Membuat dan mengirimkan WO (work order) kepada Engineering Department untuk perbaikan kerusakan, membuat sarana kerja yang diperlukan oleh Housekeeping Department.
  1. Kerjasama dengan Security
Security atau keamanan :
a. Melakukan pengamanan kepada seluruh area kerja PA dan ikut memantau agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan serta memantau keluar masuknya tamu dari maupun ke hotel dan mengawasi tamu-tamu yang mencurigakan.
b. Melakukan “body checking” karyawan-karyawan yang pulang setelah selesai bertugas dan menangani barang-barang yang hilang.
PA :
a. Melaporkan kepada security apabila ada tamu yang mencurigakan, memberitahukan kepada security bila ada tamu VIP check in, serta kamar-kamar berapa yang akan ditempati.
b. Memberitahukan security dan melaporkan jika bawaan barang-barang keluar hotel (khususnya milik housekeeping) untuk keperluan out side carteting, rapat-rapat dan lain-lain.